Sabtu, 19 Juni 2010

salah kaprah sistem inklusi



Sistem sekolah inklusi sedang gencar-gencarnya diterapkan di banyak sekolah di Indonesia. Asumsi dari sekolah inklusi ini yaitu, setiap manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan. Dilihat dari konteksnya, sekolah inklusi merupakan sekolah umum yang menerima semua anak, baik itu anak berkebutuhan khusus (ABK) ataupun anak normal dalam pembelajaran satu kelas.
PSalah satu sekolah yang menerapkan sistem sekolah inklusi yaitu SMAN 6 Bandung. SMAN 6 Bandung, sudah menerapkan sistem sekolah inklusi jauh sebelum muncul sistem sekolah inklusi di Indonesia. “Karena dari tahun 1985 kami sering menerima ABK sebagai anak didik, maka pada tahun 2003, sekolah kami diangkat menjadi sekolah inklusi,” ujar Dra. Endah Sinaryati, humas SMAN 6. Namun, penerapan sistem inklusi di SMAN 6, berbeda dengan SMA dengan sistem inklusi lainnya. Siswa ABK yang diterima di SMAN 6 Bandung, hanya ABK penyandang cacat seperti tuna netra, tuna rungu dll.
Penerimaan ABK penyandang cacat sebagai siswa pun, dikarenakan siswa ABK tersebut mempunyai prestasi seperti yang ditorehkan Firsha Mamamia atau Kin-kin sebagai juara seni tingkat kabupaten/kota. “Siswa ABK yang diterima di sekolah ini, merupakan ABK yang berprestasi dan karena sekolah mendapat titipan dari pemerintah tingkat kabupaten/kota terhadap ABK untuk mengikuti pembelajaran akademik seperti ABK atlit”. Tutur Endah. “Dalam penerimaan siswa ABK ini, juga mengikuti peraturan walikota dinas dalam penerimaan siswa akademis yang ABK” tambah Endah.
“Beberapa bulan yang lalu ini Dinas Pendidikan mengadakan pelatihan inklusi selama tiga hari, lalu ada dana yang dikucurkan oleh dinas kepada SMAN 6”. Ungkap Endah. Endah juga menambahkan, dana yang dikucurkan tersebut dipergunakan untuk membeli komputer. “Kami menggunakan dana tersebut untuk membeli komputer untuk melengkapi ruang multimedia, sehingga kami juga siswa lain umumnya merasakan keuntungannya dengan adanya siswa ABK di sekolah ini” tambah Endah.
Dari segi pembelajaran, tidak ada yang berbeda antara ABK dan siswa “normal”. “Baik siswa “normal” maupun ABK mendapat pelajaran yang sama, hanya saja setelah sekolah selesai, kami selalu memberi pengarahan ulang pada ABK”. Ujar Endah. Berkenaan dengan pengarahan yang dimaksudkan, hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Kin-Kin, siswa ABK SMAN 6 Bandung. “Tidak ada pengarahan yang diberikan guru setelah sekolah selesai”. Tegas Kin-Kin. “Selain itu, tidak ada guru bantu di dalam kelas yang menangani kami, sebagaimana harusnya sekolah inklusi” tambah Kin-Kin. Mengenai perbedaan pernyataan yang kami terima antara Dra. Endah Sinaryati dengan Kin-Kin, pihak sekolah tidak memberi kejelasan pernyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar